Ketentuan PHK dan Cara Hitung Pesangon Menurut Undang-Undang Cipta Kerja
PHK, atau Pemutusan Hubungan Kerja, merujuk pada pengakhiran hubungan antara pekerja dan pengusaha yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Menariknya, PHK tidak selalu terkait dengan pemecatan. Ada berbagai alasan yang bisa menyebabkan PHK, baik secara sukarela maupun tidak sukarela.
Secara sukarela, PHK dapat terjadi tanpa tekanan atau paksaan, misalnya ketika pekerja mengundurkan diri, masa kontraknya habis, tidak lulus masa percobaan, memasuki masa pensiun, atau bahkan ketika pekerja meninggal dunia. Sebaliknya, PHK tidak sukarela sering kali terjadi karena adanya alasan yang mendesak, seperti pelanggaran aturan, perusahaan mengalami kerugian, atau ketidakhadiran pekerja selama lebih dari lima hari kerja tanpa keterangan.
Alasan-alasan ini pun dijabarkan lebih lanjut dalam Perppu Cipta Kerja yang menguraikan berbagai situasi di mana PHK dapat terjadi, misalnya penggabungan atau akuisisi perusahaan, efisiensi, kebangkrutan, serta force majeure (keadaan memaksa) yang menyebabkan penutupan perusahaan.
Ketika PHK terjadi, pekerja berhak atas kompensasi berupa pesangon, uang penghargaan masa kerja (UPMK), dan uang penggantian hak (UPH). Besarnya kompensasi ini bergantung pada alasan PHK dan diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Komponen yang menjadi dasar perhitungan kompensasi meliputi upah pokok dan tunjangan tetap yang diterima oleh pekerja dan keluarganya.
Perhitungan pesangon berbeda-beda tergantung pada lama masa kerja pekerja. Sebagai contoh, pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun akan menerima pesangon sebesar satu bulan upah, sedangkan pekerja dengan masa kerja delapan tahun atau lebih berhak atas sembilan bulan upah. Demikian pula, UPMK juga dihitung berdasarkan masa kerja, di mana pekerja yang telah bekerja selama lebih dari tiga tahun tetapi kurang dari enam tahun berhak atas dua bulan upah, dan pekerja dengan masa kerja lebih dari 24 tahun berhak atas 10 bulan upah.
Selain pesangon dan UPMK, pekerja juga berhak menerima UPH yang mencakup hak-hak lain seperti cuti tahunan yang belum diambil dan biaya kepulangan bagi pekerja yang bekerja jauh dari kampung halamannya.
Hal penting lainnya adalah besaran kompensasi ini juga bisa berbeda jika PHK dilakukan karena berbagai alasan seperti merger, akuisisi, atau efisiensi. Sebagai contoh, pekerja yang di-PHK karena merger atau akuisisi perusahaan berhak atas satu kali ketentuan pesangon, satu kali UPMK, dan UPH. Namun, jika PHK terjadi karena efisiensi akibat kerugian, pekerja hanya berhak atas setengah kali ketentuan pesangon, satu kali UPMK, dan UPH.
Pada intinya, perhitungan pesangon, UPMK, dan UPH harus disesuaikan dengan alasan PHK dan ketentuan yang berlaku dalam UU Cipta Kerja, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pekerja maupun pengusaha dalam menghadapi proses PHK.